Pewarna
Makanan
Bahan pewarna secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu
benda berwarna
yang memiliki afinitas kimia terhadap
benda yang diwarnainya. Bahan pewarna pada umumnya memiliki bentuk cair dan larut di air.
Pada berbagai situasi, proses pewarnaan menggunakan mordant untuk meningkatkan
kemampuan menempel bahan pewarna.
Bahan pewarna dan pigmen terlihat
berwarna karena mereka menyerap panjang gelombang tertentu dari cahaya.
Berlawanan dengan bahan pewarna, pigmen pada umumnya tidak dapat larut, dan
tidak memiliki afinitas terhadap substrat.
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa, khususnya di India dan Timur Tengah,
pewarna telah digunakan selama lebih dari 5000 tahun. Bahan pewarna dapat
diperoleh dari hewan,
tumbuhan,
atau mineral.
Pewarna yang diperoleh dari bahan-bahan ini tidak memerlukan proses pengolahan
yang rumit. Sampai sejauh ini, sumber utama bahan pewarna adalah tumbuhan,
khususnya akar-akaran,
beri-berian, kulit kayu,
daun, dan kayu. Sebagian dari
pewarna ini digunakan dalam skala komersil.
Pewarna organik
pertama yang dibuat oleh manusia adalah mauveine. Pewarna sintetik
ini ditemukan oleh William Henry
Perkin pada tahun 1856. Sejak itu, berbagai jenis pewarna sintetik
berhasil disintesis.
Pewarna sintetik secara cepat menggantikan peran dari pewarna
alami sebagai bahan pewarna. Hal ini disebabkan karena biaya produksinya yang
lebih murah, jenis warna yang lebih banyak, dan kemampuan pewarnaan yang lebih
baik. [1]
Pewarna sintetik diklasifikasikan berdasarkan cara penggunaan di proses
pewarnaan. Secara umum, pewarna sintetik digolongkan sebagai pewarna asam, pewarna basa, pewarna direct, pewarna mordant, pewarna vat, pewarna reaktif, pewarna disperse, pewarna azo, dan pewarna sulfur.
Pewarna
makanan
Jenis lain penggunaan bahan pewarna adalah sebagai bahan pewarna makanan.
Pewarna makanan digolongkan sebagai aditif
makanan sehingga diproduksi dengan standar tinggi-tidak seperti
pewarna untuk industri. Pewarna makanan dapat berupa pewarna jenis direct,
mordant dan vat, dan penggunaannya secara ketat dikontrol hukum. Pewarna makanan
dapat juga berasal dari alam.
Bahan
pewarna penting lainnya
Selain penggolongan yang disebutkan di atas, terdapat
pula penggolongan bahan pewarna sebagai berikut:
- Oksidasi basa, terutama untuk rambut dan bulu
- Pewarna kulit, untuk bahan kulit
- Pencerah floresens, untuk serat tekstil dan kertas
- Pewarna solven, untuk kayu, solven tinta
- Pewarna karbin, metode pewarnaan yang baru dikembangkan untuk mewarnai berbagai jenis substrat.
Klasifikasi
secara kimia
Berdasarkan kromofornya,
pewarna dibagi menjadi:
- Kategori:pewarna akridin, senyawa turunan akridin
- Kategori:pewarna antrakuinon, senyawa turunan antrakuinon
- Pewarna arylmetan
- Kategori:pewarna diarilmetan, berdasarkan difenil metan
- Kategori:pewarna triarilmetan, senyawa turunan trifenil metan
- Kategori:pewarna azo, berdasarkan struktur -N=N- azo
- Pewarna sianin, senyawa turunan ptalosianin
- Pewarna Diazonium, berdasarkan garam diazonium
- Pewarna nitro, berdasarkan gugus fungsional nitro -NO2
- Pewarna nitroso, berdasarkan gugus fungsional nitroso -N=O
- Pewarna ptalosianin, senyawa turunan ptalosianin
- Pewarna kuinon-imin, senyawa turunan kuinon
- Kategori:pewarna azin
- Kategori:pewarna eurodin
- Kategori:pewarna safranin, senyawa turunan safranin
- Indamin
- Kategori:pewarna indofenol, senyawa turunan indofenol
- Kategori:pewarna oksazin, senyawa turunan oksazin
- Pewarna Oksazon, senyawa turunan oksazon
- Kategori:pewarna tiazin, senyawa turunan tiazin
- Kategori:pewarna tiazol, senyawa turunan tiazol
- Pewarna Xantene, senyawa turunan xantene
- Pewarna fluorin, senyawa turunan fluorin
- Pewarna pironin
- Kategori:pewarna fluoron, berdasarkan fluoron
- Kategori:pewarna rodamin, senyawa turunan rodamin
Bahan pewarna makanan terbagi dalam
dua kelompok besar yakni pewarna alami dan pewarna buatan. Di Indonesia,
penggunaan zat pewarna untuk makanan (baik yang diizinkan maupun dilarang)
diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 235/MenKes/Per/VI/79 dan direvisi
melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 722/MenKes/Per/VI/88 mengenai bahan
tambahan makanan.
Pewarna alami diperoleh dari tanaman
ataupun hewan yang berupa pigmen. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di
sekitar kita antara lain: klorofil (terdapat pada daun-daun berwarna hijau),
karotenoid (terdapat pada wortel dan sayuran lain berwarna oranye-merah).
Umumnya, pigmen-pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya,
dan pH tertentu. Walau begitu, pewarna alami umumnya aman dan tidak menimbulkan
efek samping bagi tubuh.
Pewarna buatan untuk makanan
diperoleh melalui proses sintesis kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan
kimia, atau dari bahan yang mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara
kimiawi. Beberapa contoh pewarna buatan yaitu :
Warna
kuning : tartrazin, sunset yellow
Warna
merah : allura, eritrosin, amaranth.
Warna
biru : biru berlian
Kelebihan pewarna buatan dibanding
pewarna alami adalah dapat menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil meski
jumlah pewarna yang digunakan hanya sedikit. Warna yang dihasilkan dari pewarna
buatan akan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan
pemanasan, sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran
pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami,
maka warna tersebut akan segera pudar ketika mengalami proses penggorengan.
Apakah bahan pewarna buatan
berbahaya bagi kesehatan ?
Bahan perwarna dapat membahayakan
kesehatan bila pewarna buatan ditambahkan dalam jumlah berlebih pada makanan,
atau dalam jumlah kecil namun dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka
waktu lama. Perlu diperhatikan bahwa pada saat ini banyak pengusaha nakal yang
menggunakan zat-zat pewarna berbahaya yaitu zat pewarna bukan untuk makanan
(non food grade). Misalnya, pemakaian zat pewarna tekstil atau kulit. Selain
itu, terjadi juga penggunaan bahan pewarna buatan dengan dosis tidak tepat.
Hal-hal tersebutlah yang dapat membahayakan kesehatan tubuh.
Perilaku
hiperaktif pada anak-anak ternyata terkait dengan pewarna makanan dan pengawet sodium benzoat, sebut
penelitian yang diterbitkan “The Lancet”, baru-baru ini. Dampak zat-zat
tersebut sangat luas, kata para peneliti. Mereka menyarankan para orangtua
mengatur makanan anak-anak mereka, karena
langkah itu ternyata cara mudah untuk menangani perilaku hiperaktif.
Para
peneliti di Universitas Southampton, Inggris selatan, merekrut 153 balita
berumur tiga tahun dan 144 anak-anak berumur delapan atau sembilan tahun.
Keduanya dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diberi juice buah biasa dan
yang lain diberi minuman yang rasa dan tampaknya sama dengan juice itu, padahal
mengandung pengawet. Kedua minuman itu dipasok ke para orangtua dalam botol
serupa tanpa keterangan apapun dan tersegel. Kelompok “pengawet” dibagi
ke dalam dua grup. Satu grup diberi “Campuran A,” minuman yang mengandung pewarna buatan yang biasa ada dalam permen ukuran
dua kantong 56 gram. Grup lainnya diberi “Campuran B”, dengan tingkat pewarna yang lebih tinggi, setara empat kantong
permen itu. Kedua minuman campuran
itu punya takaran sodium benzoat yang sama. Sebelum percobaan selama enam pekan
itu dilakukan, para peneliti minta orangtua dan guru menilai anak-anak mereka
dalam segi overaktif, impulsif dan perilaku kurang memerhatikan, yang semuanya
adalah ciri-ciri hiperaktif.
Penilaian juga dilakukan oleh para pengamat terlatih
(bahkan oleh para sarjana psikologi), yang duduk di kelas dan mencatat perilaku
masing-masing anak, sesuai ukuran-ukuran yang berlaku secara internasional.
Selama sepekan pertama pecobaan, anak-anak menerima makanan biasa. Setelah itu, semua permen-permen
dan minuman yang menggunakan pengawet tidak lagi diberikan, lalu para orangtua
diminta menggantinya dengan minuman percobaan dalam botol tersebut.
Takaran minuman yang diberikan kepada anak-anak itu
disesuaikan dengan takaran pewarna pada makanan mereka sehari-hari. Para orangtua tidak
tahu manakah Campuran A, Campuran B atau juice asli. Enam pekan kemudian, anak-anak itu kembali dinilai
tingkat hiperaktifnya. Campuran A memberi efek yang “merugikan secara signifikan” kepada balita
usia tiga tahun, meski Campuran B tidak berpengaruh terhadap kelompok itu. Pada
kelompok usia 8-9 tahun, Campuran A maupun Campuran B punya efek yang kuat.
“Secara keseluruhan, anak-anak yang diberi minuman
campuran, maju sekitar 10 persen ke arah hiperaktif. Kita sekarang punya bukti
nyata bahwa campuran antara pewarna tertentu dengan pengawet benzoat memengaruhi tingkah
laku anak-anak secara merugikan,” (Jim Stevenson, yang juga profesor psikologi di universitas Southampton).
Peringatan mengenai zat tambahan pada makanan serta akibatnya terhadap kesehatan
anak-anak sudah disampaikan sejak tiga puluh tahun lalu, namun bukti konkret
mengenai peringatan itu selalu dinyatakan masih kurang atau tidak ilmiah.
Para dokter di Amerika Serikat (AS), rata-rata memandang
hiperaktivitas sebagai masalah kejiwaan (ADHD) dan memberi resep obat merk
paten, ritalin. Mereka mengemukakan penggunaan obat kuat untuk memengaruhi
pikiran adalah langkah berbahaya. Dalam penelitian terbaru itu, Campuran A
berisi 45 mg sodium benzoat dan 20 mg pewarna makanan bernama sunset yellow (European food code
E110), carmoisine (E122); tartrazine (E102); dan ponceau 4R (E124). Campuran B
berisi 45 mg sodium benzoat dan 30 mg pewarna
sunset yellow (E110); carmoisine (E122); quinoline yellow (E110) dan allura red
AC (E129). Gula maupun pengganti gula tidak menjadi fokus dalam penelitian itu.
Bagaimana cara menghindari
penggunaan zat warna buatan dalam produk makanan ?.
1. Setiap kali membeli produk makanan, baca
jenis dan jumlah pewarna yang digunakan dalam produk tersebut.
2. Perhatikan label pada setiap kemasan
produk. Pastikan di label itu tercantum izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan
Makanan) yang tertulis: “POM dan Nomor izin pendaftaran”. Atau jika produk
tersebut hasil industri rumah tangga maka harus ada nomor pendaftarannya yang
tertulis : “ P-IRT dan nomor izin pendaftaran”.
3. Untuk produk makanan yang tidak dikemas secara
khusus, sebaiknya pilih makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu
mencolok, karena kemungkinan warna tersebut berasal dari bahan pewarna bukan
makanan (non food grade) seperti pewarna tekstil.
0 komentar:
Posting Komentar